Dosa ku, Dosa mu dan Dosa Kita


Pada prinsipnya tanggung jawab dalam Islam itu berdasarkan atas perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat seperti ayat 164 Surat Al-An’am

قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ وَلا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلا عَلَيْهَا وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (١٦٤)
164. Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain[*]. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."
[*] Maksudnya: masing-masing orang memikul dosanya sendiri-sendiri.

Akan tetapi perbuatan individu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seseorang pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bisa meninggalkan akibat atau pengaruh pada orang lain. Oleh sebab itu apakah tanggung jawab seseorang terbatas pada amalannya saja ataukah bisa melewati batas waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung mungkin sampai setelah dia meninggal?


Firman Allah SWT


وَقَالُوا يَا وَيْلَنَا هَذَا يَوْمُ الدِّينِ (٢٠)
20. dan mereka berkata:"Aduhai celakalah kita!" Inilah hari pembalasan.
هَذَا يَوْمُ الْفَصْلِ الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُونَ (٢١)
21. Inilah hari keputusan[*] yang kamu selalu mendustakannya[**].
[*] Hari keputusan Maksudnya ialah hari Allah s.w.t. memberi keputusan dan pembalasan kepada hamba-Nya.
[**] Ayat 20 adalah percakapan yang terjadi antara sesama orang-orang kafir.

احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ (٢٢)
22. (kepada Malaikat diperintahkan): "Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah,
مِنْ دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ (٢٣)
23. selain Allah; Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.
وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ (٢٤)
24. dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena Sesungguhnya mereka akan ditanya:
مَا لَكُمْ لا تَنَاصَرُونَ (٢٥)
25. "Kenapa kamu tidak tolong menolong ?"

Seorang yang cerdas selayaknya merenungi hal ini sehingga tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun dan tidak gegabah berbuat dosa walau sekecil biji sawi. perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika dilakukan, akan tetapi bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa jadi akan amat besar pahala atau dosanya. dijelaskan dalam lanjutan ayat diatas.

بَلْ هُمُ الْيَوْمَ مُسْتَسْلِمُونَ (٢٦)
26. bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.
وَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ (٢٧)
27. sebahagian dan mereka menghadap kepada sebahagian yang lain berbantah-bantahan.
قَالُوا إِنَّكُمْ كُنْتُمْ تَأْتُونَنَا عَنِ الْيَمِينِ (٢٨)
28. Pengikut-pengikut mereka berkata (kepada pemimpin-pemimpin mereka): "Sesungguhnya kamulah yang datang kepada Kami dan kanan[**].
[**] Maksudnya: Para pemimpin itu mendatangi pengikut-pengikutnya dengan membawa tipu muslihat yang mengikat hati.

قَالُوا بَلْ لَمْ تَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (٢٩)
29. pemimpin-pemimpin mereka menjawab: "Sebenarnya kamulah yang tidak beriman".
وَمَا كَانَ لَنَا عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بَلْ كُنْتُمْ قَوْمًا طَاغِينَ (٣٠)
30. dan sekali-kali Kami tidak berkuasa terhadapmu, bahkan kamulah kaum yang melampaui batas.
فَحَقَّ عَلَيْنَا قَوْلُ رَبِّنَا إِنَّا لَذَائِقُونَ (٣١)
31. Maka pastilah putusan (azab) Tuhan kita menimpa atas kita; Sesungguhnya kita akan merasakan (azab itu).

Ayat diatas menegaskan bahwa tanggang jawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuat oleh seseorang akan tetapi melebar sampai semua akibat dan bekas-bekas dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang sholeh, kesemuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapanpun, dan begitu pula sebaliknya. Dari sini jelaslah bahwa orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatannya. Hal ini ditegaskan dalam Surat An-Nahl: 25

لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلا سَاءَ مَا يَزِرُونَ (٢٥)
25. (ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, Amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.
“Apabila yang memerintah kejahatan atau kedurhakaan itu seorang pemimpin yang memilik kekuasaan penuh, apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa rakyatnya karena mereka dipaksa? Ataukah rakyat juga harus menaggung dosanya walau mereka melakukannya dibawah ancaman paksaan tersebut?” Menurut hemat saya, seorang penguasa dianggap tidak memaksa selama rakyat masih bisa memiliki kehendak yang ada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan maupun tulisan tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggungjawab atas semua perbuatannya. Al-Quran mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan pimpinannya menyuruh berbuat dosa. Allah menyatakan sebagai berikut: “Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, ‘Alangkah baiknya andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul.’ Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.” (QS Al-Ahzab 66-67).

Dari sini jelaslah bahwa pemimpin yang dzalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa lahiriyahnya. Oleh sebab itu rakyat atau bawahan pun harus bertanggung jawab terhadap akidahnya dan perbuatannya kendati disana ada perintah dan larangan pimpinan.


Berbeda dengan hukum paksaan yang menimpa orang-orang lemah yang ditindas penguasa yang mengancam akan membunuhnya dan memang bisa dilaksanakan. Hal ini pernah terjadi pada masa awal Islam di Makkah dimana orang yang masuk Islam dipaksa harus murtad seperti Bilal bin Rabbah, keluarga Yasir dan yang lainnya. Mereka dipaksa menyatakan kekufuran. ( QS An-Nahl: 106 dan QS An-Nisa’: 97-99)


Tanggung jawab seorang berkaitan erat dengan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Semakin tinggi kedudukannya di masyarakat maka semakin tinggi pula tanggung jawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas perilaku dirinya, keluarganya, saudara-saudaranya, masyarakatnya dan rakyatnya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang mukmin, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS At-Tahrim: 6) Sebagaimana juga ditegaskan oleh Rasululah saw: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”


Tanggung jawab vertikal ini bertingkat-tingkat, tergantung levelnya. Kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan kepala negara, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan ruang lingkup kepemimpinannya. Seorang mukmin yang cerdas tidak akan menerima kepemimpinan itu kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa akan memperbaiki dirinya, keluarganya dan semua yang menjadi tanggungannya. Para salafus shalih banyak yang menolak jabatan sekiranya ia khawatir tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.


Pemimpin dalam level apapun akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah atas semua perbuatannya, disamping seluruh apa yang terjadi pada rakyat yang dipimpinnya. Baik dan buruknya perilaku dan keadaan rakyat tergantung kepada pemimpinnya. Sebagaimana rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilih seorang pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas serta akseptabilitas sehingga kelak pemimpin itu membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan, rakyat juga dibebani pertanggungjawaban itu.


Wallahu A'lam

0 komentar:

Design by The Blogger Templates

Design by The Blogger Templates